Tugce Albayrak, terpujilah namanya. Gadis 23 tahun itu bisa saja pura-pura tak mendengar teriakan putus asa yang ditingkahi suara tawa bernada kejam dari sebuah toilet di sebuah restoran cepat saji McDonald's di Kota Offenbach, dekat Frankfurt, Jerman.
Seruan minta tolong itu berasal dari 2 orang gadis remaja
yang jadi bulan-bulanan sekelompok pria. Mereka menjadi korban pelecehan
seksual. Dini hari itu, Sabtu 15 November 2014, Albayrak memilih tak diam. Ia
menyeruak masuk, menyelamatkan para korban, dan bergelut dengan para pelaku.
Upayanya berhasil.
Namun, mahasiswi keguruan itu tak mengira, pria-pria itu
menantinya di luar restoran. Untuk balas dendam. Albayrak dipukuli, sebuah
tinju ke kepala membuatnya tak sadar, tubuhnya terbanting ke lantai semen, lalu
sama sekali tak bisa bergerak.
Selama dua pekan, gadis yang bercita-cita jadi guru itu
terbaring koma. Hingga akhirnya kedua orangtuanya memutuskan untuk mematikan
alat bantu penopang kehidupan. Tugce Albayrak dinyatakan meninggal dunia tepat
di hari ulang tahunnya yang ke-23, Jumat 28 November 2014.
Kematiannya menjadi duka cita mendalam, tak hanya bagi
keluarganya, tapi seluruh rakyat Jerman.
Bendera Turki dan Jerman berkibar di hari pemakamannya, Rabu
3 Desember 2014. Lebih dari 1.000 pelayat melantunkan doa dalam upacara
pemakaman secara Islam, dan disiarkan langsung di televisi. Belum lagi
kerumunan orang yang menyemut di jalanan untuk memberikan penghormatan
terakhir.
Jasad Tugce Albayrak telah menyatu dengan bumi. Kembali ke
tanah. Namun, kisahnya tak berhenti di situ.
Meski ia hanya satu dari jutaan warga Jerman keturunan
Turki, kisahnya telah menyatukan 2 bangsa. Dan yang utama, keberanian Albayrak
mengingatkan kembali tentang tanggung jawab moral yang seharusnya dimiliki
setiap insan. Untuk tidak diam dan bertindak saat manusia lain mengalami
kesulitan.
"Ini adalah momentum yang menggetarkan jiwa. Almarhumah
telah menunjukkan keberaniannya dalam menegakkan moralitas. Menurutku, kita
semua berhutang padanya, juga pada orangtua yang berhasil mendidiknya menjadi
seorang gadis yang luar biasa," kata seorang pelayat, Zejnep Haliti
seperti Liputan6.com kutip dari Euro News, Kamis (4/12/2014).
Presiden Jerman, Joachim Gauck menyebut Albayrak sebagai
suri tauladan, sementara Kanselir Angela Merkel mengungkapkan simpati mendalam
pada almarhumah. Sebuah petisi online yang dibubuhi 170 ribu tanda tangan
meminta pemerintah menganugerahkan penghargaan tertinggi, Order of Merit, pada
almarhumah secara anumerta.
Media-media Jerman memuji almarhumah. "Jerman mengantar
kepergian seorang pahlawan. Kita semua menangis untuk Tugce," demikian
headline koran Bild.
Restoran cepat saji McDonald's, di mana salah satu gerainya
menjadi TKP kematian Tugce, memasang
iklan sehalaman penuh di media Jerman dan Turki, berisi ucapan doa dan duka
cita. "Ia kehilangan nyawa karena menolong sesama."
Sehari setelah Albayrak dimakamkan di kota kelahirannya Bad
Soden-Salmunster, warga Jerman masih terkesima dengan keberaniannya
menyelamatkan orang lain, meski akhirnya harus kehilangan nyawa.
"Kami akan merindukan Tugce, terutama senyumannya yang
hangat," kata sang ayah, Ali, seperti Liputan6.com kutip dari situs
Deutsche Welle.
Sementara pamannya, Yasin berujar, "Dia meninggal dunia
di masa-masa keemasan hidupnya. Ia telah memberikan teladan, dalam hidupnya
bahkan saat ia meninggal dunia."
Keluarga Albayrak beremigrasi dari Turki ke Jerman pada
tahun 1970-an. Kondisi jauh membaik dibanding masa itu -- di mana para imigran
tak bisa mendapat kerja yang layak dan keturunan mereka yang lahir di Jerman
tak bisa mendapat kewarganegaraan.
Di usia 23 tahun, Tugce Albayrak seharusnya bisa memilih,
menjadi warga negara Jerman atau Turki. Sayang, ia tak sempat menjatuhkan
pilihan.
Posting Komentar